Minggu, 17 April 2011

Working Girl

Writers and Directors : Sammaria Simanjuntak & Sally Anom Sari,

Yosep Anggi Noen,

Daud Sumolang & Nitta Nazyra C. Noer.

Produced by : Nia Dinata

Co-Produced by : Vivian Idris

Executive Producer : Constantin Papadimitriou

Production Supervisor : Abduh Aziz

Content Supervisor : Myra Diarsi

Camera Team : Goen Guy Gunawan &

Rudolph Angelo Ratulangi

Editors : Aline Jusria, Bernardes Salvano

Music : Aghi Narotama

Sound Engineer : Khikmawan Santosa & Crossfade Team

Format : DV

Duration : 123 mins




Synopsis :
Mereka adalah wanita yang menjadi tempat bergantung keluarga mereka secara ekonomi. Dibalik kenyataan itu, uang hanyalah sebuah selimut yang menyelubungi pencarian nafkah mereka. Setiap rupiah yang didapatkan sesungguhnya menyimpan dilema kehidupan mereka. Dengan tiga dokumenter di dalam ‘Working Girls”, yaitu “5 Menit Lagi... Ah... ah... ah”, “Asal Tak Ada Angin”, dan “Ulfie Pulang Kampung”, beberapa dilema tersebut diangkat ke permukaan.

Antologi dokumenter ini memang memiliki benang merah pada karakter wanita-wanita pencari nafkah. Secara konsep, benang merah tersebut jelas terlihat. Ketika hasil eksekusinya ditonton, ternyata benang merah itu terasa samar karena begitu kontras dan fokusnya masing-masing dilema yang diangkat. Setiap dokumenter hidup karena sentuhan dan sudut pandang dari sutradara yang berbeda-beda.

5 MENIT LAGI... AH... AH... AH

Sammaria Simanjuntak dan Sally Anom Sari (sutradara dan penulis cin(T)a) menyorot kamera ke arah Ayu Riana, seorang gadis 14 tahun, yang menjadi pemenang kontes Stardut yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional di tahun 2008. Sejak kemenangan yang besar itu, kehidupan Ayu berubah. Keluarganya semakin bergantung kepada karier Ayu sebagai penyanyi. Setelah dua tahun, bagaimana karier Ayu bisa tetap dipertahankan menjadi sebuah perjuangan. Kehadiran Ayah Tito, seorang pria paruh baya, yang menaruh perhatian besar kepada Ayu dan terus mendampinginya membawa aura kekhawatiran terhadap masa depan Ayu. Nilai apa yang berusaha ditanamkan kepada perkembangan pribadi Ayu selalu dipertanyakan. Sementara itu, ketenaran dan karier terus menerus mendominasi pola pikir Ayu dan keluarganya. Kehidupan pendidikan tampak seperti topik ringan di dalam keluarga ini.

Duo sutradara wanita dari “5 Menit Lagi... Ah... ah... ah...” menghadirkan segala sesuatu dengan kepolosan yang telanjang dan sederhana, seakan mereka juga turut berusaha memahami dinamika Ayu dan keluarganya. Melalui sorotan kamera, tampak juga berbagai ekspresi dengan emosi tersembunyi dan objek serta momentum yang menyimpan pesan tersirat.

“ASAL TAK ADA ANGIN”

Film dibuka dengan sebuah tempat tinggal yang rapuh di tengah lapangan. Rumah-rumah di sana hanya tersusun dari bambu yang sepertinya rentan terhadap angin kencang. Itulah kondisi tempat tinggal sebuah komunitas Ketoprak, sebuah seni drama tradisional. Kehidupan mereka sebagai seniman dicermati melalui sudut pandang para wanita yang tinggal di sana. Kamek, seorang janda berusia 60 tahun yang bekerja layaknya seorang manager, adalah karakter utama yang mengenalkan penonton kepada denyut nadi komunitas itu yang jelas terlihat sangat rendah frekuensinya. Penghasilan yang sangat kecil dan kesenian tradisional yang semakin ditinggalkan sepertinya sudah sangat biasa mereka hadapi. Mereka adalah ketoprak, ketoprak adalah mereka, dan bertahan hidup adalah satu-satunya hal yang mereka perjuangkan.

Berbeda dengan “5 Menit Lagi... Ah... ah... ah...” yang terasa sepolos subjeknya, Yosep Anggi Noen memberikan aura puitis yang sehati dengan komunitas ketoprak ini. Aura yang tepat untuk melihat ironi dari orang-orang yang menggantungkan hidup dari menghibur orang.

“ULFIE PULANG KAMPUNG”

Seorang transgender yang mengidap HIV, Ulfie, telah mendapatkan kesuksesan secara ekonomi di Jakarta sebagai make-up artist dan salon yang dibangunnya. Akhirnya, Ia pun memutuskan untuk pulang ke tanah kelahirannya, Aceh. Dalam kisah yang menarik ini, Daud Sumolang dan Nitta Nazyra C. Noer memperlihatkan sosok Ulfie yang tetap berusaha menunjukkan rasa kasih sayangnya kepada keluarganya. Ia sibuk mendatangi kakak-kakaknya dan berbagi rasa sukses yang diraihnya di Jakarta. Dibandingkan dua subjek di dokumnter sebelumnya, Ulfie mungkin adalah subjek yang memiliki kestabilan ekonomi yang baik. Tapi, kesuksesan ekonomi tidak pernah sejalan dengan hilangnya dilema. Ulfie harus menghadapi kenyataan bahwa teman-teman transgendernya di Aceh mulai meninggal satu per satu karena HIV/AIDS. Ia sendiri masih menyembunyikan penyakitnya dari keluarganya.

Narasi yang dibawakan sendiri oleh Ulfie membuat “Ulfie Pulang Kampung” terasa personal. Namun, dokumenter ini tidak hanya sekedar menjadi catatan pribadi hubungan Ulfie dan orang-orang terdekatnya. Ada kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa budaya adat atau pun agama yang diterapkan secara keras dan intimidatif tidak akan pernah bisa memutus hubungan darah dan hati.

“5 Menit Lagi... Ah... ah... ah...”, “Asal Tak Ada Angin”, dan “Ulfie Pulang Kampung” memang membawa observasi yang dalam dan unik terhadap masing-masing subjeknya. Apa yang ingin disuarakan oleh masing-masing subjek tergambar jelas dengan bagaimana setiap dokumenter tersebut ditampilkan. Secara satu keutuhan antologi dokumenter, yang harus agak disayangkan adalah bagaimana samar-samarnya benang merah yang ada. Seakan-akan benang merah itu hanya tampak jelas pada kondisi setiap subjek, tapi tidak pada bagaimana setiap dokumenter tersebut mengalir dan berakhir.





sumber :
http://flickmagazine.net/
http://www.kalyanashirafound.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar