Selasa, 08 November 2011

Tugas Pertemuan 6 : Metode Riset


Bab IV
Hasil & pembahasan
4.1 Deskripsi
                Dalam melakukan penelitian ini dikaji beberapa data dengan menggunakan sampel di Jawa dan Luar Jawa meliputi Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan dimulai pada awal tahun 2007. Keberhasilan LKM dapat dilihat dari beberapa indikator. Dari sisi kelembagaan, indikator keberhasilan ditunjukkan oleh perkembangan jumlah peserta dan perkembangan aset serta dana yang terserap. Di LKM yang dikelola YPKUM Bogor-Jawa Barat misalnya, dana yang sudah tersalurkan sejak tahun 1989 sampai bulan Maret 2007 mencapai Rp 12 Milyar dengan kecenderungan meningkat, jumlah tabungan anggota mencapai 2,6 Milyard. Non Perfomance Loan (NPL), yang menunjukkan rasio tunggakan terhadap jumlah pinjaman relatif kecil (1,9 %), jauh dibawah batas toleransi (5%). Kondisi ini menunjukkan bahwa kredit yang disalurkan cukup bermanfaat bagi masyarakat sebagai tambahan modal untuk usaha produktif. Buktinya, mereka mampu membayar angsuran kredit dengan lancar.

                Dari sisi Wilayah kerja, jumlah nasabah dan jumlah pinjaman juga terus meningkat. Pada awalnya, jumlah nasabah hanya 10 orang pada 1 desa dan 1 kecamatan. Menginjak bulan Maret 2007 jumlah nasabah meningkat pesat mencapai 5880 orang, tersebar di 12 kecamatan dan 83 desa. Ada sebanyak 1491 kumpulan (kelompok kecil) yang terdiri dari 5 orang) dan 394 rembug pusat (terdiri dari 2 - 6 kumpulan). Jumlah pinjaman per orangan pun mengalami peningkatan cukup tajam, pada awalnya besarnya pinjaman anggota hanya sebesar Rp 200.000, sekarang sudah ada yang boleh meminjam sebesar Rp 3 juta/th dengan bunga pinjaman 2,5 % per bulan atau 30% per tahun.Keberhasilan LKM di Tangerang teridentifikasi dari kemampuan LKM memberikan sumbangan terhadap PAD yang volumenya cenderung meningkat. Jika pada tahun 2006 menyetor PAD sebesar Rp 289 Juta, maka setoran untuk tahun 2007 telah ditargetkan akan mencapai Rp 600 juta. Modal awal LKM diperoleh dari Pemda Kabupaten Tangerang semenjak 2004, dan terus didukung Pemda sampai tahun 2007 sehingga total modal sampai tahun 2007 mencapai Rp 3,26 milyard.

                Dari aset tabungan dan cash money menunjukkan LPP-UMKM telah memiliki aset yang memadai. Tabungan yang dimiliki sampai tahun 2007 tercatat sebesar Rp 7,5 milyar dengan total piutang yang beredar di nasabah sebesar 5,7 milyar. Sedangkan cash money berupa aktiva lancar yang tersedia sebanyak Rp 1,3 milyar. Perputaran uang cukup besar, sebagai gambaran total penerimaan yang diterima LPP-UMKM per bulan sekitar Rp 230 juta. Setelah dikurangi biaya operasional, lembaga ini masih mendapatkan keuntungan Rp 100 juta per bulan.

                Dari sumberdaya manusia (SDM) yang terlibat, meskipun awalnya digerakkan oleh segelintir orang namun dalam perkembangannya mengalami peningkatan pesat. Sumberdaya manusia yang terlibat dalam kepengurusan LKM tercatat 53 orang karyawan (46 laki-laki dan 7 perempuan) dengan total wilayah layanan mencapai 7 kecamatan di Kabupaten Tangerang. Tingkat keberhasilan yang dicapai LKM tersebut, agak berbeda dengan LKM sejenis yang khusus melayani kegiatan usahatani seperti LKM Prima Tani di Jatim, Sulsel dan NTB. Pada LKM yang disebutkan terakhir, kendalanya dihadapkan pada dukungan permodalan dan keberlanjutan kegiatan LKM terkait dengan aspek kaderisasi dan kapabilitas pengurus LKM.

                Keberhasilan pengelolaan keuangan oleh UPPKP di Gunung Kidul dicirikan oleh semakin meningkatnya volume uang beredar di kelompok tani, dan semakin lancarnya tingkat pengembalian pinjaman. Kondisi tersebut jauih lebih baik dibandingkan dengan ketika pengelolaan keuangan kelompok ini masih dilakukan institusi penyalurnya (Dinas Teknis terkait dengan Pertanian). Sementara itu di Sleman, penyaluran pembiayaan usahatani yang dilakukan secara bergulir juga menunjukkan keberhasilan, ditandai dengan semakin meningkatnya kemampuan anggota kelompok dalam mengembalikan pinjaman sehingga volume pinjamannya juga lebih meningkat lagi. Kemampuan tersebut merupakancerminan efektifnya pinjaman dalam penggunaannya di sektor usahatani.

4.2 Analisis
           
            Dari pengalaman YPKUM Nanggung dan LPP UMKM Tangerang diketahui proporsi dana yang dialokasikan untuk mendukung kegiatan di sektor pertanian tidak lebih dari 5 % dari total pagu kredit LKM. Sebagian besar dana LKM disiapkan untuk mendukung usaha di luar sektor pertanian. Oleh karena itu tidak mengherankan jika akhirnya muncul wacana untuk membentuk dan mengembangkan LKM sendiri guna mendukung usaha di sektor pertanian.
Pada bab sebelumnya disebutkan bahwa jumlah UKM  berjumlah 42 jutaan ternyata  menikmati akses permodalan dari LKM hanya sebesar 22,14 persen. Jika jumlah UKM yang belum memanfaatkan kredit mikro sekitar 30 jutaan unit, misalnya satu persen-nya memanfaatkan kredit mikro rata-rata sebesar Rp 2 juta maka akan muncul potensi permintaan kredit mikro total sebesar 0,3 juta unit x Rp 2 juta = Rp 600 triliun. Jumlah ini tentu tidak semuanya dimanfaatkan oleh lembaga perbankan, tetapi akan lebih banyak melalui LKM. Selain jumlah pasar kredit mikro yang masih luas, potensi yang masih besar bagi LKM adalah karakterisitik dari LKM itu sendiri. LKM umumnya dalam penyaluran kreditnya menyesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat



Bab V
Kesimpulan

5.1 Intisari

            Keberadaan LKM diakui masyarakat memiliki peran strategis sebagai intermediasi aktivitas perekonomian yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional; Secara faktual pelayanan LKM telah menunjukkan keberhasilan, namun keberhasilannya masih bias pada usaha-usaha ekonomi non pertanian. Skim perkreditan LKM untuk usahatani belum mendapat prioritas, hal itu ditandai oleh relatif kecilnya plafon (alokasi dana) untuk mendukung usahatani, yakni kurang dari 10 % terhadap total plafon LKM; Faktor kritis dalam pengembangan LKM sektor pertanian terletak pada aspek legalitas kelembagaan, kapabilitas pengurus, dukungan seed capital, kelayakan ekonomi usaha tani, karakteristik usahatani dan bimbingan teknis nasabah/pengguna jasa layanan LKM;
1. Upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan memutus mata rantai kemiskinan itu sendiri, antara lain dengan memperluas akses Usaha Kecil dan Mikro (UKM) dalam mendapatkan fasilitas permodalan yang tidak hanya bersumber dari lembaga keuangan formal tapi juga dari Lembaga Keuangan Mikro (LKM),
2. LKM ternyata mampu memberikan berbagai jenis pembiayaan kepada UKM walaupun tidak sebesar lembaga keuangan formal, sehingga dapat menjadi alternatif pembiayaan yang cukup potensial mengingat sebagian besar pelaku UKM belum memanfaatkan lembaga-lembaga keuangan,
3. Potensi yang cukup besar tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal, karena LKM masih menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan antara lain
Pemberdayaan aspek kelembagaan yang tumpang tindih, keterbatasan sumber daya manusia dalam pengelolaan LKM dan kecukupan modal,
4. Upaya untuk menguatkan dan mengembangkan LKM sebagai salah satu pilar sistemkeuangan nasional, diantaranya yang mendesak adalah menuntaskan RUU tentang LKM agar terdapat kejelasan dalam pengembangan LKM. Serta komitmen pemerintah dalam memperkuat UKM sebagai bagian tidak terpisahkan dari pengembangan LKM



5.2 Saran & Rekomendasi
                Untuk memprakarsasi penumbuhan dan pengembangan LKM pertanian diperlukan adanya pembinaan peningkatan kapabilitas bagi SDM calon pengelola LKM, dukungan penguatan modal dan pendampingan teknis kepada nasabah penggunakredit. Sedangkan saran yang relevan dengan pengembangan LKM mencakup:
1. Perlunya strategi jangka panjang yang jelas dalam pengembangan LKM baik cetak biru maupun kelembagaannya sebagaimana strategi yang telah berjalan pada industri perbankan, mengingat kontribusi LKM yang cukup besar dalam pengembangan UKM
2. Perlunya pendalaman dan pengkajian yang lebih intensif tentang karakteristik LKM di Indonesia, agar RUU tentang LKM yang dihasilkan nanti akan menjadikan LKM semakin berkembang dan tangguh bukan sebaliknya




Alit Inanti
3ea11
16209004
Dosen : Prihantoro